Rabu, 14 April 2010

Perjuangan Hukum Keluarga yang Setara di Maroko

Hari Selasa siang, 13 April 2010, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) kedatangan dua orang aktivis perempuan dari Maroko. Mereka adalah Amina dan Rabea Nasiri dari Universitas Demokrasi Perempuan di Maroko. Komnas Perempuan mengadakan diskusi dengan mereka yang juga dihadiri oleh teman-teman aktivis perempuan lainnya termasuk dari ALIMAT. Nur Rofi'ah dari ALIMAT membuatkan catatan diskusinya dan membaginya disini.


Sesi Presentasi:

Maroko adalah sebuah negara berbentuk kerajaan dengan populasi sebanyak 31.993.000 jiwa, lebih banyak sedikit dari populasi Propinsi Jawa Tengah dengan yang memiliki jumlah penduduk 30.775.846 jiwa. Bahasa utamanya adalah Arab dan bahasa Asing terpopulernya adalah Perancis. Penganut Muslim mencapai 99% dengan madzhab sunni. Jadi Muslim Sunni menjadi mayoritas tunggal.



Pada tahun 2004, Maroko mencatat sejarah dengan disahkannya Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) yang mengakomodir kesetaraan laki-laki dan perempuan. Undang-undang ini merupakan revisi atas Hukum Keluarga yang telah berlaku selama setengah abad. Beberapa perubahan yang berhasil digolkan adalah (1) Keluarga adalah tanggungjawab bersama antara laki-laki dan perempuan merevisi aturan sebelumnya bahwa laki-laki adalah penanggung jawab tunggal keluarga, (2) perempuan tidak membutuhkan ijin wali untuk menikah, sehingga perempuan secara hukum dilindungi UU untuk menentukan sendiri calon suaminya, (3) batas usia minimum pernikahan bagi laki-laki dan perempuan adalah sama-sama 18 tahun merivisi aturan sebelum di mana perempuan 15 tahun, sedangkan laki-laki 17 tahun, (4) poligami mempunyai syarat yang sangat ketat merevisi aturan sebelumnya yang membebaskan poligami.

Strategi yang diambil oleh kawan-kawan Maroko adalah (1) Melakukan kordinasi dengan aktifis-aktifis perempuan lintas sektoral. Koalisi para aktifis perempuan diakui Amina dan Rabea sebagai kekuatan dahsyat yang memungkinkan revisi ini, (2) Merumuskan Hukum Keluarga seperti apa yang ingin dicapai dan perubahan-perubahan apa yang dikehendaki, (3) membangun argumentasi teologis maupun non teologis yang kuat dari berbagai perspektif termasuk HAM dan CEDAW, (4) advokasi ke pengambil kebijakan. Tuntutan perubahan Hukum Keluarga dengan berbagai argumentasi tersebut dikemukakan kepada anggota DPR yang mempunyai otoritas membuat UU, pemerintahan, dan partai, (5) pembentukan opini publik agar masyarakat memahami dan menyadari apa yang sedang diperjuangkan, baik melalui media, demontrasi di jalan-jalan dan memobilisasi massa dari berbagai elemen masyarakat dan kekuatan politik.

Persoalan ini selalu dibahas di mana saja hingga ke kerajaan dengan Raja Muhammad al-Malik as-Sa'id. Di Maroko seorang raja diakui sebagai penguasa politik sekaligus agama sehingga otoritasnya sangat besar. Setelah proses yang cukup lama akhirnya tuntutan perubahan Hukum Keluarga tersebut mendapat sambutan yang positif dari Raja dengan dibentuknya Komisi Khusus. Komisi ini kemudian yang menelaah draft usulan perubahan Hukum Keluarga dan selalu melibatkan kalangan aktifis perempuan dalam setiap pembahasannya. Setelah tiga tahun diproses oleh Komisi Khusus ini, akhirnya Raja mengesahkan Revisi Hukum Keluarga (Mudawwanah al-Usrah) pada tahun 2004.

Proses perjuangan tidak kalah penting dengan hasilnya. Terbitnya Hukum Keluarga yang mengakomodir perempuan dalam setiap prosesnya merupakan jalan bagi terwujudnya demokrasi bagi perempuan di Maroko. Tentu peran serta Raja tidak bisa diabaikan dalam hal ini karena beliau sendirilah yang menghadapi serangan dari kelompok Muslim Konservatif. Namun tidak sedikit dari kalangan konservatif yang kemudian menyetujui revisi tersebut dan menyadari bahwa penolakan tersebut bukanlah soal agama melainkan politik. Misalnya mereka mengatakan bahwa keharusan ijin wali bagi perempuan untuk menikah hanyalah soal politk (bukan agama)


Dari kiri ke kanan: Maria Ulfah (Alimat), Amina, Rabea Nasiri, dan Nur Rofi'ah (Alimat)

Satu catatan penting dari keberhasilan reformasi Hukum Keluarga ini adalah pentingnya membangun argumentasi yang didasarkan pada tradisi agama dan kemasyarakatan Maroko sendiri sehingga masyarakat dapat diyakinkan bahwa reformasi ini adalah dari dan untuk mereka sendiri. Perspektif sosial merupakan arugumen yang utama. Perubahan sosial saat ini telah memungkinkan banyak perempuan terlibat dalam mengurus negara dengan menjadi anggota legislatif dan menjalankan tugas negara. Tidak mungkin ketika perempuan bisa mengendalikan negara, tidak bisa mengendalikan diri sendiri!. Artinya, Perempuan yang sudah bisa mengendalikan negara pastilah bisa mengendalikan diri sendiri. Fakta yang paradoks di mana di satu sisi perempuan sudah maju dan menentukan arah negara namun di sisi lain dia diperlemah sampai tidak bisa menikah tanpa wali.

Secara teologis pun ternyata banyak ditemukan tradisi pemikiran Islam di berbagai bidang yang dapat dijadikan argumentasi untuk mendukung perubahan Hukum Keluarga ini. Tafsir agama yang bias itu berada dalam wilayah politik karena apapun akan selalu tergantung pada penafsiran dan penafsiran tergantung pada kekuasaan, terutama penafsiran Syariat atas persoalan masyarakat yang ada.


Sesi Tanya Jawab

Di Maroko, lembaga termasuk LSM perempuan punya keterkaitan dengan partai politik kiri sehingga dukungan partai menjadi kekuatan yang perlu diperhitungkan. Pada akhir tahun 1980'an di Maroko terjadi keterbukaan politik yang memunculkan kekuatan baru, yaitu kekuatan partai politik. Kekuatan baru ini melengkapi kekuatan Islam yang sebelumnya menjadi kekuatan tunggal. Meskipun dua kekuatan ini tampak bertentangan dalam menyikapi gerakan perempuan, namun kedua kekuatan tersebut pada faktanya memegang peranan penting. Perseteruan dua kekuatan ini kemudian melahirkan kesadaran bahwa persoalan garakan perempuan tidaklah hanya terkait dengan perempuan saja melainkan juga persoalan masyarakat dalam setiap kelas sosial. Kesadaran lain yang juga tumbuh adalah keyakinan dalam amsyarakat bahwa mereka bisa mempunyai gagasan yang berbeda dengan mayoritas dan bagaimana memperjuangkannya sehingga tidak perlu takut dengan kelompok konservatif atau siapa pun yang menentang gagasan tersebut. Faktanya ulama konservatif yang menentang pun menjadi pecah ada yang mendukung dan menolak.


Catatan: Ada sebuah buku yang memuat argumentasi teologis maupun non teologis yang digunakan kawan-kawan aktifis Maroko dalam menggolkan Hukum Keluarga ini. Judulnya mohon Mbak Nana informasikan dan saya juga punya Hukum Keluarga Maroko dalam bahasa Arab.

Usul:
Alimat menerjemahkan UU tersebut sebagai bahan Hukum Keluarga Impian Alimat yang mempertimbangkan kondisi spesifik Indonesia seperti agama dan etnik yang plural, fenomena BMI dan PRT'nya, dll khas Indonesia.

Terima kasih semoga sharing ini bermanfaat.
(Nur Rofiah)

3 komentar:

  1. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

    BalasHapus
  2. Sangat menarik sekali, sayangnya saya baru tahu.
    saya mau nanya buku yang memuat argumentasi teologis maupun non teologis yang digunakan kawan-kawan aktifis Maroko dalam menggolkan Hukum Keluarga apa nama bukunya ? terima kasih alimat

    BalasHapus
  3. Sharing yang menarik dan bermanfaat. Terimakasih

    BalasHapus